Selasa, 02 Juni 2009

Sejarah yang Terlupakan

Ketika menjelaskan makna replika tulisan di makam Wijayabrata, makam Ki Hadjar Hewanotro, Terpampang tulisan indah Tut Wuri Handayani. Hal yang penulis lakukan waktu itu adalah menanyakan arti semboyan kepada kawan-kawa mahasiswa baru Simbol pendidikan yang sudah mengurat akar di lingkungan pendidikan. Semua diam, tak menjawab. Barangkali mereka lupa. Sekali lagi penulis menanyakan, arti Tut Wuri Handayani. Kagrt karena jawaban itu tak ada sangkut paut dengan maksud pertanyaan
Hal yang ironis ketika lambang itu sudah dikenal sejak sekolah dasar, selalu dipakai. Menjadi ikon dan semboyan pendidikan Indonesia. Sejarah yang terlupakan. Ada apa dengan sejarah?
Tidak bermaksud mempermasalahkan kawan-kawan mahasiswa tidak mengingat para leluhur tepa. Tetapi aspek pembelajaran terhadap sejarah
Ketika mata pelajaran sejah dipelajari sebagai fakta sejarah sekedar pemenuhan nata pelajaran atau tuntutan kurikulum tadak membekar dan melahirkan sebuah keprihatinan akan sejarag bangsa sendiri. Walau bersfat kasuiastir tetapi menjadi bahan itrppeksi ketiak ia mejadi sebuah lelasiamn. sekedar meraih nilai yang memuaskan.
Bangsa besar adalah bangsa yang tidak pernah melupakna sejarah,
Minat san apresiasi terhadap humaniora kita rendah
Gairah dan apresiasi untuk memiliki ilmu. Kita jauh dari substansi polemic kebudayyaan
Tutnwi Handayani Jika berada di belakang harus member dukungan, dan meberi daya dorong.
Mentransfer pengetahuan dan belum mendidik siswanya.Ilistasi dia tas sekedar menggambarkan kondidsi pendidkan
Menhantar generasi muda lebih santun dan berbudaya.
Ki hadjar menyatakan anak-anak Indonesia harus dididik dalam suatu system pendidikan yang berakar pada kebudayaan sendiri.
Pelajaran sejarah akan menyolkong penddikan karakter
Menghafal fakta-fakta sejarah hal yang menjemukan apakah ada upaya refleksi
Pelajaran sejarah hanya sebagai tuntutan sejarah dan dan pemenuhan kuruikulum
Tamansiswa merupakn lembaga pendidkan yang dekat denag kebudayaan bertanggungjawab terhadap nilai-nilai.Tidak semata romantic idealism yang meninahm\bobokan sejarah masa lalu tetapi sedikit megugah kesadaran akan arti perjuagan para pandahulu. Dan pemaknaan akan sejarah hanya bersifat temporal dan saraf sensitifnya terlecut pada moment berbau ritual.
Ambrosius Atu
PBI UST 2003

Minggu, 31 Mei 2009

KHD, Pendidikan Modern

“Kalau dulu tidak ada orang yang bernama Soewardi Soeryaningrat, yang kemudian menjadi Ki Hadjar Dewantara, keadaan pergerakan kebangsaan Indonesia niscaya tak seperti yang kita alami“ Bung Karno
Ungkapan presiden pertama RI itu tentunya beralasan jelas. Terutama dalam pergerakan menuju Indonesia merdeka. Sebagaimana dahulunya bangsa ini dikuasai penjajah yang semua penerapan dalam pemerintahannya bersifat kolonial dan menindas. Termasuk pendidikan yang dirancang dan didesain sesuai dengan kehendak penjajah yaitu kolonialisme. Disinilah akhirnya keluar pemikiran anak bangsa yang sangat brilian dan cerdas. Sebagaimana sebuah media pembebasan Ki Hadjar yang terlahir dari seorang keturunan priyayi jawa, berjuang untuk mendirikan Tamansiswa. Dengan pendidikan yang diterapkan di Tamansiswa diharapkan bisa merubah keadaan bangsa. Dari sinilah dimulai pendidikan yang merdeka. Karena dengan pendidikan itu nantinya bisa membentuk identitas serta kepribadian manusia dan bangsa.
Membaca sejarah Ki Hadjar, memang tak bisa melupakan sejarah persekolahan rakyat yang dibangunnya. Gelar sebagai bapak pendidikan nasional merupakan bukti bahwa Ki Hadjar Dewantara terlahir untuk membebaskan pendidikan Indonesia yang kala itu tidak memerdekakan manusia bahkan menindas serta membodohi. Pendidikan kolonial yang diterapkan waktu itu hanya menciptakan anak-anak makin canggung hidupnya dalam masyarakat karena mendapat pendidikan dan pengajaran yang salah. Intinya membuat sang anak kemudian ketergantuan dan tidak bisa berdiri sendiri. Inilah akhirnya Tamansiswa datang dengan menawarkan pendidikan baru sebagai alat dan syarat untuk anak-anak hidup sendiri dan berguna bagi masyarakat. Pengajaran bagi Tamansiswa berarti mendidik anak agar menjadi manusia yang merdeka batinya, merdeka pikirannya dan merdeka tenaganya. Makanya didalam Tamansiswa KHD juga tak luput memasukan fatwa sebagai panduan untuk mengadakan pendidikan. Selain Pancadarma dan Tripusat pendidikan. Terutama Fatwa pertama suci tata ngesti mulya yang berarti dengan ilmu pengetahuan kita menuju kemuliaan yang berarti dengan ilmu yang luhur dan mulia yang nanti akan menyelamatkan dunia serta melenyapkan kebiadaban.
Konsep-konsep yang telah diberikan KHD dari awal ini memang masih sangat relevan untuk diterapkan kedalam dunia pendidikan sekarang. Seperti penerapan system among dan sebutan pamong untuk pengajar atau gurunya. Dengan menggunakan konsep ini niscaya tidak ada tirani ataupun dikotomi dalam pendidikan karena pamong dengan murid seperti yang dijabarkan KHD seharusnya seperti juru tani dalam berpikir, berperasaan dan bersikap. Juru tani harus menyerahkan dan mengabdikan dirinya pada kepentingan kesuburan tanamannya. Kesuburan tanaman inilah yang harus menjadi pusat perhatian dan kepentingan juru tani. Juru tani juga tidak membeda-bedakan dari mana asal tanaman itu, dari mana pupuk, dari mana asal kelengkapan atau dari mana asal ilmu pengetahuan. Namun harus dimanfaatkan segala yang menyuburkan tanaman menurut kodrat alam. Pamongpun harus punya karakter seperti juru tani, tidak membeda-bedakan anak didik, tetapi berusaha menciptakan anak didiknya itu tumbuh menjadi anak yang pintar, berjiwa merdeka dan tidak bergantung dan berharap bantuan orang lain (hal 63- 64). Itulah yang diharapkan KHD terhadap pendidikan ditanah air ini sehingga pendidikan bukan sebagai suatu pemaksaan. Inilah yang paling menyentuh dan relevan dari pandangan KHD dalam alam demokrasi. Artinya jangan memaksakan dan mematikan perkembangan alamiah sang anak didik. Akan tetapI, pendidikan harus bisa mengembangkan kemampuan dan potensi yang ada pada anak didik. Oleh sebab itu, pendidikan dengan cara pemaksaan harus diganti dengan pendidikan yang bersifat among system. Yakni system yang memerdekakan pikiran, semangat dan kreativitas anak didik (hal 71) sehingga hukuman karena murid tidak menguasai pelajaran maupun hadiah ketika ia mampu menjawab pertanyaan harus dirubah karena tidak mendidik.
Masih banyak lagi yang bisa diuraikan dari semua ajaran KHD dalam buku “Pendidikan Modern dan Relevansi Pemikiran Ki Hadjar Dewantara” itu. Dengan buku yang ditulis langsung pimpinan Tamansiswa itu, kita masih bisa sedikit memetik dari ajaran serta konsep KHD. Memang tidak begitu sempurna karena buku itu tidak sepenuhnya memuat apa yang telah diajarkan KHD tapi hanya pengulangan sejarah dan perbandingan dengan teknis pendidikan sekarang. Tapi dengan adanya buku itu, cukuplah kiranya untuk membasuh otak yang kering akan ajaran serta konsep pendidikan dari salah seorang anak bangsa asli yang sekarang masih terasa relevan bilamana diterapkan dalam pendidikan modern sekarang ini. Kiranyalah bagus untuk menjadi referensi bagi akademisi maupun mahasiswa serta pemikir-pemikir pendidikan untuk mengerti kemana arah dari pendidikan seperti yang dicita-cita founding father terdahulu agar pendidikan di Indonesia benar-benar berjalan sesuai dengan harapan bangsa ini sendiri. Bukan berdasakan desain kepentingan orang lain apalagi bangsa lain.

Melki Hartomi As
Mahasiswa FKIP UST